Reality show saat ini sedang menjamur. Tapi di antara semua tayangan reality show, Terhehek-Mehek adalah salah satu program yang dianggap paling disukai oleh pemirsa. Jam tayangnya yang prime time yaitu 18.15-19.00 WIB hingga back song-nya yang keren dan syahdu, membuat acara ini makin diminati.
Pertama kali nonton Termehek-mehek, apa sih yang ada di benak kamu? Pastinya sih terseret arus cerita yang seringkali mengaduk-aduk perasaan di tengah-tengah acara pencarian orang yang dikasihi. Kamu diajak untuk ikut dag-dig-dug menanti ending cerita, happy or sad ending? Jadinya berat rasanya mata untuk dialihkan ke hal lain selain mantengin monitor TV sampai acara selesai. Ehem..iya apa iya?
Mayoritas dari kita, saya dan kamu pasti yakin dan percaya bahwa acara tersebut adalah nyata dan bener terjadi. Dan masih banyak jutaan pemirsa TV lainnya juga yang ikut menangis dan bahagia sesuai dengan jalan cerita Termehek-mehek. Eh…usut punya usut, ternyata acara Termehek-mehek dan mayoritas reality show lainnya itu adalah rekayasa, bukan murni nyata kejadiannya. Kok bisa sih? Makanya, supaya ngerti, ikutin terus pembahasan ini yah. Lanjuutt!
Ternyata rekayasa
Dalam bahasa Jawa, ada istilah ‘nggak mehek’ yang artinya kurang lebih meremehkan atau menganggap kecil sesuatu. Namun Termehek-mehek yang sekarang lagi booming, mempunyai arti menangis tersedu-sedu. Acara ini muncul sekitar Mei 2008 dan langsung menarik perhatian mayoritas pemirsa TV. Ide acara adalah membantu mencari seseorang yang lama hilang. Jalinan ceritanya begitu mempesona karena dibuat seakan-akan nyata dan terjadi dengan sebenarnya.
Saya yang semula juga tersepona eh…terpesona pada Termehek-mehek, jadi kuciwa juga mengetahui fakta sebenarnya. Helmi Yahya sebagai yang punya ide cerita mengakui bahwa ia memanfaatkan karakter orang Indonesia yang suka diberi mimpi.
Para pemeran di tiap episode sengaja diambil dari masyarakat umum terutama mahasiswa agar terkesan alami karena wajahnya belum pernah nongol di TV sebelumnya. Ada satu kasus ketika seorang mahasiswa langsung diteleponin oleh banyak teman-temannya setelah shooting reality show. Jelas aja nih mahasiswa langsung menjelaskan pada teman-temannya itu bahwa cerita yang diangkat bukanlah kisah pribadinya, tapi rekayasa berdasarkan skenario belaka. Malulah kalau sampai beneran kisah pribadinya jadi konsumsi banyak orang se-Indonesia, begitu katanya.
Sebagian dari kamu bisa jadi nggak terima dengan kenyataan ini. Kok bisa sih? Bukankah jelas-jelas sang target pernah mengusir kameramen acara termasuk host-nya yaitu Panda dan Mandala? Masa’ rekayasa pake acara usir-usiran segala? Bahkan Panda pake acara nangis juga bila kebetulan ending cerita mengharukan atau sedih. Mungkin kamu berpikir naïf seperti itu.
Yupz, kamu emang nggak salah. Namanya aja acting, pastilah ya harus meyakinkan. Bahkan Panda dan Mandala pun dibayar bukan cuma untuk menjadi host, tapi plus acting juga. Bagi mereka yang bekerja di dunia pertelevisian, sedari awal langsung ngeh bahwa acara-acara reality show seperti ini penuh dengan rekayasa. Namanya aja show atau pertunjukkan yang sudah jelas ada unsur menghiburnya dong. Hal ini tidak bisa dihindari karena tuntutan deadline. Ketika tidak ada satu kisah nyata yang bisa diangkat ke layar TV, maka solusinya adalah bikin skenario dan membayar pemain amatiran agar terkesan alami. Nah, awalnya saya pikir sebagian, tapi ternyata most of them alias hampir semua episode adalah rekayasa!
Cara gampang untuk mengenali bahwa ini adalah rekayasa yaitu kamu perhatikan aja kualitas suara yang jernih ketika terjadi percakapan antara host, client dan target. Kalau memang si target benar-benar tidak tahu sebagaimana ekspresi mukanya yang seringkali berakting bingung ketika didatangi host, maka seharusnya kualitas suara mereka tidak sejernih yang kita dengar di TV. Kejernihan suara itu karena memang adanya chip untuk mikrofon yang biasanya dipasang di baju. Nah loh…
Kalo kamu jeli, ada wajah tokoh pada acara termehek-mehek yang juga sedang bermain sinetron meskipun hanya sebagai tokoh figuran. Lagipula, bila acara ini menyajikan kejadian sebenarnya, apa ada orang yang rela aibnya ditampilkan sedemikian rupa di TV? Kan sudah mendapat persetujuan dari semua pihak, mungkin itu kilahmu. Namanya juga dramatisasi Non, pastilah acara ini dihadirkan agar seolah-olah semuanya terlihat real.
Mengapa terjadi?
Yupz…kalo di benakmu sempat terbersit pertanyaan seperti ini, itu tandanya kamu sudah selangkah lebih cerdas. Kok bisa-bisanya reality show yang seharusnya real alias nyata, eh ternyata malah rekayasa. Kondisi ini memang memanfaatkan psikologi orang Indonesia yang cenderung pasif dan konsumtif. Mereka mudah ‘dicekoki’ apa saja terutama yang bertujuan pembodohan secara massal. Hal ini pula yang terjadi pada berbagai macam program TV di Indonesia.
Deadline, biasanya menjadi alasan utama rekayasa tayangan reality show. Jadi kalo nunggu kisah nyata beneran untuk ditayangkan, itu bakal menunggu waktu lama dan belum ada kepastian juga kasusnya bisa selesai atau nggak. Kalo direkayasa dengan skenario layaknya sinetron, maka menjual program ini ke stasiun TV jadi lebih mudah karena semuanya serba mudah dan pasti. Karena mudah dan ditonton banyak pemirsa, maka rating pasti naik. Kalo rating naik, iklan pun bakal rebutan untuk ambil porsi tayang. Nah, loh…UUD juga alias Ujung-Ujungnya Duit.
Berdasarkan data AC Nielsen di akhir tahun 2008, Termehek-mehek merupakan program acara paling populer dengan raihan rating 7,2 poin dan share 27,3 persen. Ini adalah yang tertinggi dari semua acara reality show yang ada di stasiun televisi lainnya. Menurut Gusti M Taufik, salah satu Event Coordinator pada sebuah Production House (PH) di Jakarta mengatakan bahwa budget produksi pasti akan membangkak jika shooting menggunakan kejadian real. Belum lagi memburu target pasti akan makan waktu lama. Perhatikan saja pada acara Termehek-mehek, meyoritas pencarian orang bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari. Padahal faktanya itu adalah skenario yang bisa diselesaikan hanya dalam waktu hitungan jam saja.
Uang adalah raja diraja manusia saat ini, apalagi untuk program TV. Meskipun sebuah tayangan dikatakan bermutu dan mendidik, namun tanpa uang atau iklan yang menyokong, maka bisa dipastikan program tersebut akan gulung tikar dengan cepat. Begitu sebaliknya, meskipun sebuah tayangan dikategorikan ‘junk program’ alias tidak bermutu, tapi bisa tetep jalan bila didukung kekuatan modal. Inilah pola hidup kapitalisme yang memang sangat mendewakan modal dan pemodal sebagai penguasa zaman.
Tradisi intip-mengintip, mencari celah untuk tahu aib orang, bertengkar dengan kasar di depan umum, berkata-kata jorok sehingga TV perlu menyensor dengan bunyi ‘tiiiittt’, adalah sebagian budaya reality show terutama Termehek-mehek yang berusaha diajarkan pada kita. Sifat dasar manusia yang selalu saja ingin tahu urusan orang dijadikan komoditi, tak ubahnya seperti infotainment. Bedanya, kali ini yang dijadikan objek pengintipan adalah mereka yang bukan selebritis. Tapi intinya sih tetep aja, melakukan hal-hal yang nggak penting dan nggak bermanfaat.
Bagaimana sikap kita?
Mungkin awalnya kita nggak paham tentang realitas reality show. Jadinya kita gampang banget tertipu dan ngefans dengan sebuah program tayangan tertentu. Sampai-sampai kita bela-belain untuk menunda keperluan lain demi nggak mau ketinggalan acara tersebut. Ehem…iya apa iya?
Nah, sekarang kamu jadi ngerti tentang apa dan bagaimananya reality show itu terutama Termehek-mehek yang sekarang ini lagi booming. Terus, apa dong yang kita lakukan sebagai pemuda cerdas plus beriman? Ya…nggak usahlah terlalu serius nonton acara reality show itu. Apalagi tayangan favorit begini biasanya sengaja ditaruh di jam-jam darurat. Perhatikan aja Termehek-mehek ini tayang di waktu Maghrib yang singkat. Kalo kamu udah taraf kecanduan sama acara beginian, bisa dipastikan bakal males mau berangkat sholat. Bila pun melakukan, pasti maunya pingin cepet-cepet selesai alias sholat ala kilat khusus (emangnya surat?).
Padahal itu semua rekayasa loh. Seandainya pun bukan rekayasa, masa iya sih tayangan reality show bisa mengalahkan waktu sholat kamu? Semua ini adalah langkah awal bagi media TV untuk menanamkan racunnya ke dalam benak kaum muslimin terutama pemudanya. Kamu jadi terlena di depan TV dan males untuk sholat secara khusyuk dan tumakninah. Boro-boro baca al-Quran setelah sholat Maghrib, yang ada juga baca al-Fatihah nggak jelas bacaannya karena cepet-cepetan mau nonton Termehek-mehek. Aduh….moga aja kamu bukan type ini ya.
Sabtu sore dan Minggu sore itu biasanya banyak kegiatan di sekitar rumah kamu karena anak-anak sekolah dan kuliah pada santai. Dengan adanya Termehek-mehek ini biasanya kamu-kamu pada males untuk berangkat ngaji atau kegiatan positif lainnya. Pinginnya cuma duduk manis sambil mantengin layer TV nunggu acara reality show kelar.
Nah, mulai sekarang udah nggak musim lagi males ngaji dan ikut pembinaan. Meskipun acara TV kesayangan kamu lagi main, waktunya berangkat menimba ilmu ya berangkat aja. Emang TV bisa menyelamatkan dunia-akhirat kamu? Pasti nggak dong. So, nonton reality show ya wajar-wajar aja kaleee, nggak perlu sampai kecanduan.
Semua ini sandiwara
Bagi yang nggak begitu suka dengan sinetron, biasanya terjebak dengan reality show semacam Termehek-mehek. Padahal program jenis ini setali tiga uang alias sama saja dengan sinteron hanya beda kemasan. Sang produser tahu bener bahwa tidak semua orang bisa ditipu untuk program pembodohan ala tayangan sinetron. Oleh karena itu butuh polesan cerdas untuk tope orang-orang seperti ini dengan tayangan jenis lain. Reality show adalah jawabannya.
Sesungguhnya, semua ini adalah sandiwara. Sandiwaranya para pemodal untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya, tak peduli apakah tayangan itu merusak generasi atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah rating tinggi yang berarti iklan banyak, duit pun mengalir menambah penuh pundi-pundi uang mereka. Parahnya lagi, masyarakat kita terlena dengan kebodohan ini. Maka sudah saatnya bagi kamu-kamu yang selangkah lebih cerdas daripada rakyat kebanyakan karena kamu udah membaca gaulislam ini (ehem… kagak nyombong Non!) untuk tidak berdiam diri.
Yuk, kita sebarkan pemahaman ini pada umat. Bukan melulu tentang rekayasa reality show saja tapi juga muatan isinya yang bisa merusak generasi secara perlahan tapi pasti. Ingat, tayangan TV hanya hiburan. Ibarat garam pada masakan, bila kebanyakan maka selain rasanya nggak enak juga pasti menimbulkan berbagai macam penyakit.
Begitu juga dengan tayangan TV, nggak perlu menjadikan TV sebagai menu pokok harian kamu. Sekadarnya saja untuk mengetahui berita terkini terutama tayangan yang bermutu dan bermanfaat. Selebihnya, kita kudu ingat bahwa hidup ini bukanlah main-main. Hidup di dunia juga bukan sandiwara, tapi sungguhan. Kita berbuat salah ya akan mendapat dosa, kalo beramal shalih akan dapat pahala. Hidup kita akan dihisab, akan dimintai pertanggungan jawabnya. Allah Swt. yang akan mengawasi kita semua. Dia tidak bisa ditipu dengan acting kita yang bepura-pura alim atau berpura-pura ikhas. Jadi, beramallah sebaik-baiknya untuk kehidupan sebenarnya di negeri akhirat kelak. Biarkan saja Termehek-mehek dengan acara ‘nggak mehek’nya itu, yang penting kamu nggak lagi sebagai orang naïf yang percaya banget sama reality show. So, ayuk bergerak dan berdakwah untuk perubahan! [ria: riafariana@yahoo.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar